Teori Nietzsche
Mengenai Etika
Nietzche yang bernama lengkap Friedrich Willem Nietzsche lahir di Röcken, 15 Oktober 1844, adalah seorang filsuf yang terkenal dengan kata “God Is Dead”. Tulisannya berbentuk aforisme yang menandakan bahwa dia tidak ingin mengikuti sistem pada zamannya. Nietzsche juga dikenal sebagai seorang filsuf yang mengacak-acak moralitas, teruatama moralitas Kristen di Eropa pada saat itu. Konsepnya mengenai Ubermensch juga menjadi inti pemikiran dari Nietzsche. Kali ini saya akan membahas etika menurut Nietzsche.
Kehendak untuk berkuasa sebagai prinsip moralitas
Kehendak
untuk berkuasa merupakan saripati dari seluruh petualangan pemikiran Nietzsche.
Kehendak berkuasa ini didapat bukan dengan cara mengumpulkan premis-premis
silogisme yang selanjutnya ditulis dalam kerangka yang sistematis. Kehendak
untuk kuasa adalah hasil dari kontemplasi yang panjang Nietzsche. Nietzsche
mengemukakan bahwa kehendak untuk berkuasa merupakan prinsip dari seluruh
kehidupan manusia dan alam. Kehendak dalam kehendak untuk berkuasa ini bisa
disebut sebagai kekuatan yang memerintahkan dirinya sendiri, bersifat
memerintah dan menaati tanpa mengandaikan pasivitas apapun. Dalam kehendak
untuk berkuasa, tidak ada pihak yang bersifat pasif. Hal ini menurut Nietzsche
karena untuk menaati perintah kehendak untuk berkuasa tersebut dibutuhkan
kekuatan untuk memerintah diri sendiri.
Menurut
Nietzsche, moralitas setiap orang yang lemah maupun kuat merupakan ungkapan
kehendak untuk mengatasi diri atau kehendak untuk berkuasa. Kehendak untuk
berkuasa sebagai prinsip moralitas terlihat dari pembedaan macam-macam moral
berdasarkan tujuan dari moral tersebut. Lebih jelasnya lagi, Nietzsche
menyatakan untuk memahami moralitas, kita harus mengkaitannya dengan hidup yang
tidak lain adalah kehendak untuk berkuasa.
Nietzsche
menolak adanya fakta moral. Menurutnya, fakta moral itu tidak ada yang ada
hanya interpretasi moral. Moralitas, menurut Nietzsche, adalah penafsiran untuk
suatu penilaian. Pemikiran ini tidak terlepas dari kritiknya terhadap David
Hume tentang adanya pengakuan fakta moral. Interpretasi dan penafsiran suatu
penilaian dilakukan manusia untuk mempertahankan kehidupannya. Hidup adalah
satuan kekuatan-kekuatan yang berada di bawah satu penguasaan dan moralitas ada
untuk mengatasi kekuatan itu. Oleh karena itu, Nietzsche mengembalikan
keutamaan moral manusia selama ini kepada fungsi organik dan biologis yang
memang manusia butuhkan untuk mempertahankan hidup.
Kehendak
untuk berkuasa selain sebagai prinsip moralias juga sebagai nilai tertinggi
yang menurut Nietzsche harus dicapai manusia untuk mengahadapi tekanan-tekanan
kekuatan atau kehidupan. Ketika manusia sudah mencapai nilai ini dengan
mewujudkan kehendak berkuasa, berpotensi untuk menjadi manusia super atau lebih
terkenal dengan istilah Ubermensch. Ubermensch adalah manusia baru yang kembali
ke semangat kekuasaan, yang telah terbebas dari belenggu sistem nilai dan
moralitas lama dan mewujudkan kehendak untuk berkuasa. Ubermensch adalah
manusia yang berani untuk berkata “IYA” pada hidup yang penuh dengan chaos ini.
Moralitas
budak dan moralitas tuan
Nietzsche
membagi moralitas menjadi dua, moralitas budak dan moralitas tuan. Moralitas
budak adalah moralitas orang kecil, masal, lemah, moralitas yang tidak mampu
untuk bangkit dan menentukan hidupnya sendiri dan selalu iri terhadap mereka
yang kuat. Moralitas ini juga disebut dengan moralitas kawanan. Moralitas ini,
menurut Nietzsche, cocok bagi mereka yang tidak punya semangat dan ambisi dalam
hidupnya. Moralitas kawanan ini menghindari perang dan konflik untuk mencapai
kedamaian. Hal ini dilakukan mereka untuk memberi nilai pada hidupnya.
Ketakutan mereka terhadap konflik dan nafsulah yang dapat membangun moralitas
mereka.
Moralitas
budak ini selalu mengikuti kelompok dan tidak berani untuk bertindak sesuai
keinginan dirinya sendiri. Moralitas ini dibatasi oleh sistem yang diciptakan
untuk melindungi masyarakat dari kehancuran dan kekacauan. Individu-individu
dalam moralitas kawanan ini bersedia menerima moralitas ini karena mereka tidak
menggunakan kesadarannya untuk menerima kebenaran moralitas. Individu-individu
ini dibius dengan nilai –nilai yang menjamin keberlangsungan moralitas dan
salah satu nilai itu adalah ketaatan individu kepada otoritas.
Nietzsche
lalu menunjukkan moralitas lain yang kepada individu-individu ini agar mereka
tidak terbelenggu oleh moralitas kawanan. Moralitas ini adalah moralitas tuan.
Moralitas tuan adalah yang dibangun berdasarkan semangat afirmatif setiap orang
terhadap hidup. Semangat ini mencerminkan semangat dionisian yang selalu
berkata “YA” pada hidup. Berbeda dengan moralitas kawanan yang menuntut
individu untuk hidup berdasarkan moralitas yang satu dan seragam dengan
moralitas indvidu lainnya, dalam moralitas tuan individu yang mencerminkan
semangat dionisian harus hidup berdasarkan moralitasnya sendiri.
Bagi
Nietzsche, moralitas tuan adalah moralitas yang melampaui kategori-kategori
baik dan jahat. Seorang dionisian, harus mengukur suatu nilai dengan ketagori
baik dan jelek bukan baik dan jahat. Baik adalah apa saja yang meningkatkan
kehendak untuk berkuasa sedangkan jelek adalah semua yang keluar dari sikap
yang lemah. Seorang donisian harus berperang untuk menunjukkan garis hidupnya
yang selalu meningkat. Hal ini penting baginya karena dia akan merasa semakin
kuat, otonom dan bebas.
Meskipun
moralitas kawanan ini buruk, Nietzsche tidak ingin moralitas ini hilang atau
musnah. Hal ini menurutnya, dibutuhkan agar para dionisian tetap mempunyai
musuh dan dapat berdiri di atas pundak para moralitas kawanan ini. Selain itu,
keberadaan moralitas ini sebagai musuh para dionisian juga dapat meningkatkan
kehendak untuk berkuasa.
Keberatan
Nietzsche terhadap agama Kristiani, demokrasi dan sosialisme
Seperti
yang sudah dijelaskan pada permasalahan moralitas budak dan tuan, gereja membatasi
manusia untuk melakukan kehendak untuk berkuasa. Orang-orang Kristen atau pihak
gereja adalah pelaku dari moralitas kawanan yang cenderung meredam nafsu-nafsu
spontan yang merupakan ungkapan arus hidup itu sendiri yaitu kehendak untuk
berkuasa. Agama Kristiani menekan manusia untuk hidup secara damai dengan
menjauhi konflik padahal hal ini hanya akan membatasi garis hidup individu. Hal
ini sangat bertentangan dengan keinginan Nietzsche agar setiap individu menjadi
seorang dionisian yang harus berperang untuk meingkatkan garis hidupnya serta
kehendak untuk berkuasa.
Selain
itu, Nietzsche juga tidak mengkui prinsip kesamaan yang dianut dalam paham
demokrasi dan sosialisme. Hal ini sama dengan penolakannya terhadap
universalisme moral Immanuel Kant. Keduanya direvisi dari moralitas Kristen dan
bertentangan dengan moralitas yang diajarkan oleh Nietzsche yang sesuai dengan
semangat dionisian. Jika moralitas menggunakan prinsip persamaan, maka yang ada
adalah moralitas budak atau moralitas kawanan yang hanya membatasi manusia.
Individu menurut Nietzsche, harus memiliki moralitas tuan yang berbeda dengan
individu pada moralitas kawanan. Perbedaan moralitas ini ditambah semangat
seorang dionisian akan membuat garis hidup individu meningkat dan kehendak untuk
berkuasa sebagai nilai tertinggi dapat tercapai. Lalu setelah kehendak untuk
berkuasa tercapai, manusia bisa menjadi seorang Ubermensch atau manusia super.
Nietzsche mengusulkan supaya diadakan pembedaan tingkatan-tingkatan manusia
berdasarkan moralitas yang dianutnya. Usulan ini tidak dimaksudkan untuk
membedakan tipe-tipe manusia berdasarkan rasnya. Usulan ini dimaksudkan agar
individu berani untuk berpikir dan mempunyai moralitas tersendiri.
Daftar Pustaka
1. Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, Yogyakarta: Kanisius, 1997.
2. St. Sunardi, Nietzsche, Yogyakarta: LkiS, 2011
4. http://jasperssartre.blogspot.com/2010/04/biografi-nietzsche.html, diakses pada
01/11/2011 pukul 20.50 WIB
0 komentar:
Posting Komentar